buku tamu

LETAKKAN KODE SHOUTBOX, FOLLOWBOX, DLL TERSERAH ANDA DISINI

Monday 29 August 2016

Dia Mawarku (Bunga)

Irham tidak selalu datang setiap malam. Di akhir minggu laki-laki itu lebih sering absen mengunjungi Mawar sehingga gadis itu membunuh waktu dengan membaca buku atau mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.
Mawar sadar bahwa Irham punya dunianya sendiri. Irham tidak harus terus-menerus mengurusi Mawar. Irham juga punya prioritas di hidupnya dan itu bukan Mawar.
From: Irham 
Jangan lupa shalat isya dulu sebelum tidur
Mawar tersenyum mendapati pesan itu di ponselnya. Pesan singkat itu berhasil merubah moodnya begitu cepat. 
Mereka memang tidak pernah punya tujuan saat liburan. Tapi Irham tau bagaimana menyenangkan hati Mawar. Irham akan datang dengan setumpuk DVD film terbaru dan mereka akan menghabiskan hari dengan maraton film. Mereka tertawa, sedih dan ketakutan dalam satu hari tergantung genre apa yang sedang mereka putar.
"Dia pacar kamu?" Tanya Mawar suatu kali saat mereka selesai menonton dan layar laptop Irham memunculkan gambar seorang wanita. "Iya, namanya Bunga." Jawabnya dengan senyum mengembang si bibirnya dan entah kenapa membuat hari Mawar terasa nyeri.
"Cantik, cocok sama kamu." kata Mawar sambil membereskan gelas dan piring yang berserakan di atas meja.
"Kamu nggak bosen libur di apartemen terus? Aku kan kasih uang jajan buat kamu. Kamu bisa pergi ke mall sama teman-teman kamu." Irham melirik Mawar yang kembali dari dapur dengan segelas jus.
"Uangnya aku tabung aja. Aku kan nggak akan terus-menerus di sini. Suatu saat aku harus pergi, kerja." Irham terdiam lalu menatap Mawar yang sudah ada di sebelahnya. 
"Kamu boleh tinggal di sini sampai kapanpun." Mawar menggeleng. "Nggak bisa, suatu saat kamu akan menikah. Dan aku harus siap hidup sendiri." Irham mengangguk. Menyadari bahwa kata-kata Mawar ada benarnya. Sebulan lagi ia akan bertunangan dengan Bunga lalu menikahinya. Satu hal yang selalu menjadi cita-citanya sejak kecil.
***
"Seberat-beratnya UN. Rintangan setelahnya jauh lebih berat. Kalau cuma UN gini kamu udah ngeluh. Gimana nanti kamu ngerjain skrispi. Ngeliat hasil kerja kamu tiap malem di coret-coret dosen, di jamin kamu harus nahan diri buat ngacak-ngacak muka dosen pembimbing saking keselnya."
Mawar tertawa lalu melihat wajah Irham yang berubah kesal. Ia tahu, karena Irham seringkali datang ke apartemen lalu meruntuki dosen pembimbingnya yang terlampau menyebalkan. Tapi Irham boleh lega karena ia hanya tinggal menunggu Sidang. Dan Mawar harus berjuang keras untuk memulai UN besok.
"Jangan lupa berdoa dan tetap tenang. Kerjain soal yang gampang dulu." kata Irham sebelum pulang.
"Kalau semua soal susah gimana?"
"Ya, coba dulu. Kalau nyerah baru lambaikan tangan ke kamera." Irham tergelak, membuat Mawar mengerucutkan bibirnya.
"Mawar pasti bisa." katanya memberi semangat. Dan itu adalah kata-kata yang terus terngiang di kepala Mawar selama mengerjakan soal ujian. Kata-kata itu bukan mantra tapi serupa doa buat Mawar. Membuatnya yakin pada diri sendiri.
***
Mawar terbangun karena suara dering telepon. Ia terduduk di ranjang dan melihat ponselnya mati tergeletak. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam lalu berjalan keluar kamar. Suara itu masih berdering dan berasal dari ruang tamu. Dan benar, ponsel Irham berdering nyaring di sofa ruang tamu. Mawar mengambilnya dan menemukan nama 'Bunga' di sana.
Irham sudah pulang dua jam yang lalu dan ponselnya tertinggal.
Ia hanya menatap benda persegi itu hinga panggilan itu mati. Ada satu pesan yang juga di kirim bunga.
Karena rasa penasaran ia memberanikan membuka pesan itu walaupun ia harus bergulat dengan jantungnya yang tiba-tiba berdetak tidak karuan.
"Happy Birthday Irham dan bla bla bla." Mawar tidak sanggup membaca lagi padahal pesan itu berderet panjang. Panggilan itu masuk lagi dan setelah mati, Mawar mengganti mode dering menjadi getar dan kembali ke kamarnya.
Irham tidak ke apartemen hari itu dan Mawar tidak punya keberanian untuk menanyakan di mana pria itu. Padahal Mawar sudah membuat kue spesial untuk Irham dan berharap Irham menyukainya. Tapi sampai tutup hari itu, tak juga ada yang mengetuk pintu apartemennya.
Mungkin Irham sibuk merayakan ulang tahunnya bersama pacarnya ataupun para sahabatnya. Ponsel Irham masih tergeletak di sofa dan ponsel itu tidak lagi bergetar.
***
Mawar dan Irham menatap layar laptop di depannya dengan cemas. Website itu menujukkan loading yang begitu lama tanda web itu mungkin di akses oleh ratusan orang diwaktu yang sama. Hingga akhirnya Mawar memekik girang saat namanya dinyatakan lulus.
"Yeaayyy." katanya sambil memeluk Irham dengan refleks. Membuat Irham membalas pelukan hangat itu dan membuat Mawar mendadak kaku. "Aku tahu kamu pasti lulus." bisik Irham tepat di telinga Mawar. Mawar melepas pelukannya dan melihat Irham tersenyum tulus.
"Jadi gimana acara perpisahannya?"
"Cuma acara prom night di hotel." kata Mawar. "Tiap siswa dapet satu undangan buat partnernya."
"Aku temenin. Tanggal berapa?"
"Dua puluh satu." Tidak langsung menanggapi, Irham malah terdiam. "Kenapa?"
"Itu hari pertunanganku sama Bunga."
Mawar tersenyum getir. "Yaudah nggak apa-apa. Aku sendiri aja." Mawar tidak seharusnya mengharapkan Irham.
***
Mawar turun dari taksi dan memasuki ballrom itu dengan gaun hitam selutut. Menyapa beberapa temannya yang tampak datang dengan pasangan mereka. Mawar hanya bisa mendesah pelan. Seharusnya ia tidak datang ke acara ini kalau tau ia hanya akan merasa kesepian dalam keramaian.
Ia menatap MC yang memulai acara. Ia duduk di bangku paling belakang dimana di kanan dan kirinya kosong karena semua orang berebut duduk di kursi depan. Ia merasakan seseorang duduk di sebelahnya tanpa berniat menoleh ia terfokus pada seseorang yang berbicara di depan.
"Kamu cantik." Suara itu terdengar tepat di telinganya. Ia menoleh dan melihat Irham tersenyum lebar di sampingnya.
"Irham, kok bisa ada di sini. Bukannya kamu..."
"Kan aku udah janji. Pria sejati selalu nepatin janjinya." kata-kata Irham memotong omongan Mawar. Mawar tersenyum dan merasakan dadanya menghangat. Ia menatap Irham yang tampak tampan dengan kemeja merah marun dibalut jas hitam dan dasi sewarna kemeja. Tampan, bisiknya dalam hati. Hingga sesuatu yang berkilauan menyita perhatiannya. Cincin. Sebuah cincin sudah tersemat di jari manis pria itu.
"Selamat ya atas pertunangan kamu." katanya setelah mengumpulkan keberanian. "Sama-sama. Aku dapat dua hadiah tahun ini. Kelulusan kamu dan pertunanganku dengan Bunga." Irham mengusap pucuk kepala Mawar. Mengalirkan rasa hangat tepat ke ulu hati Mawar.
***
Mawar belum pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya. Dan kenyataan bahwa ia mencintai seseorang yang tidak akan pernah bisa ia miliki ternyata begitu menyakitkan.
Mendoakanmu dalam diam mengajarkanku untuk mencintai dengan tulus, ikhlas tanpa tapi. Katanya dalam hati.
Ia menatap ponselnya. Menunggu kabar dari Irham. Hari ini Irham sedang Wisuda dan Mawar hanya bisa duduk di apartemennya menantikan kabar Irham. Sejujurnya, ia ingin berada di samping pria itu di hari-hari spesialnya sebagaimana Irham selalu ada di hari-hari terbaiknya. Tapi ia sadar bahwa ia tidak akan bisa. Sekali lagi, Irham punya dunianya sendiri yang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa ia sentuh. Kehidupan mereka berbeda, ada lapisan tipis tak kasat mata yang memisahkan dunia mereka berdua.
Mencintai Irham mengajarkannya banyak hal. Mengajarkannya arti tulus ikhlas tanpa mengharap balik, mengajarkan kesabaran yang ia dapat dari menunggu Irham yang tidak pasti dan yang pasti mengajarkannya menjadi dewasa untuk berfikir mana yang mungkin dan mana yang tidak mungkin.
"Aku cinta banget sama Bunga." kata Irham suatu kali. "Dan aku udah janji bakal nikahin dia." lanjutnya. Mawar terdiam, membiarkan sesuatu menggerus hatinya. "Kalau nanti kamu cari suami. Aku cuma punya satu pesan. Cari seseorang yang bisa mendekatkan surga kepadamu."

Friday 15 April 2016

Dia Mawarku (Lembaran Baru)

Mawar terpaku melihat begitu banyak kantung plastik yang Irham bawa hari ini. Jam sudah menjukkan pukul tujuh malam, Irham sampai saat Mawar tengah menghabiskan hari di depan televisi ruang tamu. Melihat kedatangan Irham, Mawar masuk ke dapur dan kembali dengan segelas teh hangat. "Makasih, kamu nggak perlu repot-repot." kata Irham lalu menyesap teh itu pelan. Mereka duduk di ruang tamu. Irham mengeluarkan semua barang belanjaannya.
"Ini pakaian untukmu. Aku harap ukurannya pas." kata Irham. Mawar terhenyak melihat potongan-potongan baju yang di beli Irham. Tidak menyangka Irham akan sebaik ini. Dan dari sekian banyak pakaian yang teronggok di depannya, matanya terpaku pada satu buntelan berbalut tas kecil berwarna putih. Perlahan ia mengambilnya, sebuah mukena.
"Aku berharap kamu membutuhkannya." kata Irham. Karena ia sama sekali tidak tau bahwa Mawar seorang muslim atau bukan. Tapi kalau mengingat dari mana Mawar berasal seharusnya tebakannya tidak salah.
"Apa aku masih pantas menghadapnya?" Mawar melirih dan matanya berkaca-kaca.
"Kenapa?"
"Aku merasa terlalu kotor." Butiran bening itu jatuh. Ia tiba-tiba merindukan ayahnya yang selalu menjadi imam dalam keluarga selepas suara adzan berkumandang.
Irham mendongkak dan menatap Mawar baik-baik. "Allah maha pemaaf. Tidak ada yang sebaik dirinya. Dia menerima semua hambanya. Mantan koruptor, mantan pezinah, bahkan mantan pembunuh sekalipun asal mereka mau bertobat. Ingat, semua pendosa masih punya masa depan layaknya orang suci punya masa lalu. Apa yang bisa di perbaiki hari ini, perbaikilah. Mungkin kamu bisa mulai dengan shalat Isya."
Dada Mawar bergemuruh mendengar kata-kata Irham. Dan butiran bening itu makin deras mengucur dari matanya. Kata-kata Irham mendobrak dinding kesadarannya yang selama ini tertutup rapat. Tapi masih ada yang terasa mengganjal di pikirannya. Ia tidak hanya berasa kotor untuk shalat tapi kadang ia merasa Tuhan begitu jahat karena memberikan cobaan yang bertubi-tubi ke arahnya.
"Aku kadang merasa Tuhan begitu jahat dan tidak adil. Dia memberiku begitu banyak cobaan." katanya sambil tersengal menahan tangis.
"Allah memberikan cobaan karena ia tahu hambanya mampu melewati. Bisa jadi masalah itu pembersih maksiatmu, pencerahan otakmu agar terus mengingat Allah, obat tuli telingamu dari ayat-ayat Allah, pembakar sombongmu dan mungkin ia rindu mendengar munajatmu."
Kata-kata itu bagai mantra yang menyihir Mawar. Ia menatap Irham yang tersenyum dengan mata yang masih berkaca-kaca. Perlahan ia merasakan dadanya mengembang dan terasa hangat.
"Kamu tau kenapa kita masih hidup sampai detik ini?" tanya Irham setelah mengahabiskan isi cangkirnya. Mawar menggeleng, ia bukan tidak tahu hanya saja pikirannya belum terkoneksi untuk menjawab pertanyaan tiba-tiba itu. Mawar punya banyak kemungkinan tapi ia tidak siap menjawab kali ini.
"Orang-orang punya banyak jawaban tapi aku cuma punya satu jawaban. Mungkin karena kita masih terlalu banyak dosa sehingga Allah masih memberi kesempatan untuk bertaubat."
Dan sekali lagi Mawar meluruh. Ia mencoba tersenyum kaku ke arah Irham.
***
Mawar tidak pernah tahu apa yang di kerjakan Irham. Pria itu berangkat pagi dan pulang sore hari atau kadang selepas magrib. Dan Mawar tidak punya kegiatan yang harus dilakukannya di rumah itu. Mawar membersihkan rumah itu. Memasak setiap pagi walaupun Irham akan bilang kalau Mawar tidak perlu repot-repot tapi Mawar selalu punya alasan untuk melakukan itu semua. Sampai saat ini Mawar menumpang di rumah itu dan Irham menampungnya tanpa meminta apapun.
Mawar tidak pernah memimpikan akan bertemu dengan sosok Irham. Dia laki-laki tampan, baik, dan yang pasti sosok yang begitu hangat. Mawar sering mendengar laki-laki itu menelpon sampai tengah malam. Ia kadang mendengar laki-laki itu tertawa renyah sampai menceritakan hari-harinya.
"Kau mau keluar?" tanya Irham di hari jumat itu. Mawar terdiam. Sejujurnya ia juga merasa jenuh terus-menerus di dalam rumah. Tapi ia terlalu takut untuk keluar seorang diri. 
***
Mereka tidak pergi jauh. Hanya ke taman kota yang tampak ramai sore itu. Untuk pertama kalinya, Mawar merasakan hawa kebebasan. Mencium bau dedaunan basah yang yang tertiup angin. Begitu lega.
Mereka duduk di bangku dan memegang es krim di masing-masing tangannya. Selama Mawar sibuk dengan es krim seperti anak kecil yang baru saja merasakan dingin, Irham memperhatikan wajah Mawar. Kulitnya putih bersih dengan hidung mancung dan mata bening. Ia tidak menyangka bahwa gelandangan yang dibawanya beberapa hari yang lalu bisa berubah menjadi sosok Mawar yang tampak menarik. Irham tidak pernah bertanya mengenai umur dan kalau di taksir mawar mungkin masih berusia belasan. Mungkin enam belas atau tujuh belas tahun.
"Besok aku akan kembali ke Jakarta."
Bibir Mawar mengatup rapat secepat kilat. Ia menoleh dan menatap Irham yang juga tengah menatapnya. "Aku di sini hanya liburan."
Mawar masih diam. Ia hanya termangu menatap Irham yang masih sibuk merangkai kata-kata.
"Kau bisa ikut denganku atau tetap tinggal di sini." Irham membuang bungkusan ice creamnya dan kembali menatap Mawar yang masih juga terdiam. Ia bingung bagaimana harus menjawab. Apakah boleh ia memilih satu dari apa yang di tawarkan Irham. Apa ia pantas mendapatkan itu. Ia bahkan tidak mengenal Irham dengan jelas.
"Karena kamu tidak menjawab, sebaiknya kamu ikut ke Jakarta. Aku akan menyekolahkanmu. Berapa umurmu sekarang?"
Mawar berdehem pelan lalu menjawab. "Tujuh belas tahun."
"Tiga SMA?" Mawar mengangguk.
***
Mawar tidak pernah tahu seperti apa rupa kota Jakarta selain dari acara di televisi yang di tontonnya. Apa benar kota itu padat dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Apa benar begitu banyak kejahatan seperti yang ia lihat di berita.
Mereka menggunakan taksi. Mawar sibuk melihat ke luar jendela. Melihat gedung-gedung pencakar langit itu berdiri kokoh. Tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari yang namanya Jakarta. Benar kata orang, jakarta padat dengan kendaraan.
"Kamu tahu nggak kalau tiap hari banyak orang memaki sama kota ini." Mawar menoleh dan menatap Irham.
"Setiap hari orang mengeluh kota ini macet, penuh polusi, panas, penuh copet dan kejahatan lainnya." Irham ikut memandang keluar jendela.
"Tapi sebenci apapun mereka pada Jakarta, mereka tidak akan pernah pergi dari kota ini. Sebagaimanapun rupanya, Jakarta tetap menjadi kota yang akan selalu di rindukan." Mawar mengangguk, mengerti maksud dari kata-kata Irham.
***
Mereka sampai di apartemen. Dan Mawar sedikit terperangah. Apartemen itu mewah, berada di pusat kota di kelilingi bangunan-bangunan tinggi nan kokoh. "Ini apartemen aku, aku jarang ke sini karena aku juga punya rumah. Kamu bisa tinggal di sini." katanya sambil duduk di sofa. Mawar duduk di sebelahnya. Menatap lekat-lekat tiap sudut ruangan.
"Aku harus apa?" kata Mawar bingung.
"Harus apa gimana?" Irham tak kalah bingung.
"Kamu kasih aku tumpangan secara cuma-cuma." Irham terkekeh lalu berkata. "Kamu harus rajin belajar karena aku akan daftarin kamu sekolah." Mata Mawar membulat sempurna. Menatap Irham yang tampam tersenyum. "Kamu serius?" laki-laki itu mengangguk mantap.
"Aku masih kuliah, aku usahakan mampir ke sini kalau sempat. Itu kamarnya. Masih ada beberapa barangku tapi tidak berantakan. Kamu bisa tidur di sana karena itu satu-satunya kamar di sini." Irham menunjuk satu pintu tak jauh dari tempat duduk mereka.
***
Keesokan harinya Irham datang ke apartemen. Membawakan begitu banyak buku bacaan dan alat-alat tulis. "Kamu serius mau sekolahin aku?" hari ini Irham memakai kemeja hitam dengan sebuah ransel berisi laptop. Seperti baru pulang kuliah. "Iya."
"Cuma-cuma?" Mawar masih tidak percaya ada makhluk sebaik Irham.
"Aku cuma punya dua pesen sama kamu. Jangan tinggalin shalat dan belajar yang rajin."
Sejak detik itu, Mawar sadar Mawar menyukai Irham. Entahlah, mungkin sayang karena Irham begitu baik kepadanya.
Mereka menikmati makan malam mereka. Mawar yang memasak sendiri. "Enak." Mawar tersenyum mendengar pujian itu.
Mawar mencuri pandang ke arah Irham yang tengah sibuk dengan sendok garpunya. Menatap garis wajah Irham yang begitu hangat.
"Oia, aku punya sesuatu lagi buat kamu." Irham mengambil ransel di sampingnya dan mengeluarkan kotak yang masih terbungkus plastik. Mawar menerimanya dan menemukan sebuah ponsel di sana.
"Buatku?" Irham mengangguk. "Kalau ada apa-apa beritahu aku." kata Irham.
***
Mawar tidak pernah menyangka kalau dirinya masih punya kesempatan untuk memakai seragam putih abu-abu. Irham benar-benar menyekolahkannya. Ia kembali merasakan bangku sekolah, bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya meskipun ia bisa dibilang tidak mempunyai teman dekat. Sepulang sekolah, saat teman-teman sebayanya meluangkan waktu untuk sekedar jalan-jalan ataupun nonkrong di kafe, Mawar akan memilih langsung kembali ke apartemennya.
"Gimana sekolah kamu hari ini?" Irham menyesap teh yang sudah di sediakan Mawar. "Seperti biasa. Tidak ada yang terlalu menarik." kata Mawar acuh sambil menyendokkan nasi ke piring Irham. Irham terbiasa dengan kehadiran Mawar. Begitu juga sebaliknya. Tidak ada waktu yang tunggu Mawar selain sore menjelang malam menunggu kehadiran Irham. Tidak ada yang membuat Irham bertahan lama di kampus karena ia selalu menantikan bertemu Mawar untuk mendengarkan cerita Mawar. Keluh kesah gadis itu di sekolahnya. Teman-teman yang menyebalkan, guru yang galak, tugas-tugas yang menumpuk sampai gosip-gosip di sekolahnya.
"Di sekolah ada yang cewek yang namanya Tata, denger-denger dia pacaran sama guru kesenian" cerita Mawar suatu waktu.
"Jangan suka ngegosip." Irham duduk disamping Mawar. Terpaku pada laptop dan tugas-tugas kuliahnya. Mawar yang juga sedang mengerjakan tugas berhenti sebentar. "Tapi aku liat sendiri mereka suka pulang bareng."
"Mungkin mereka emang pacaran."
"Masalahnya, guru keseniannya itu udah punya istri, baru nikah sebulan yang lalu." Irham yang sedang mengetikan jari-jarinya di keyboard berhenti dan menoleh. "Belajar yang bener ah kamu.. Jangan ghibah, nggak baik." Mawar mengerucutkan bibirnya lalu kembali ke buku yang ada didepannya tepat saat suara ponsel menggema. Irham merogoh saku celananya, melihat nama di layar lalu masuk ke dalam kamar. Menjauhi Mawar. Mawar hanya mengangkat bahu, hal seperti itu sering terjadi. Di mana Irham akan mengangkat pangilan dan berusaha agar Mawar tidak mendengarnya.
Mawar melirik laptop Irham yang menampilkan screen Irham dan seorang gadia cantik. Putih dengan rambut panjang yang menjuntai melewati bahu. Tiba-tiba hatinya terasa nyeri hingga ia sadar, ia mencintai Irham.

Monday 4 April 2016

Dia Mawarku (Bayang-bayang kelam)

Surabaya, 24 maret 2009
Hujan deras mengguyur kota Surabaya siang itu. Disaat orang-orang sibuk meringkuk mencari kehangatan di hari minggu. Seorang gadis meringkuk di depan sebuah toko yang sudah bertahun-tahun tidak di tempati. Ia menggigil memeluk dirinya sendiri. Mengamati telapak tangannya yang sudah mulai keriput karena kedinginan.
Suara gemelutuk giginya mengiringi rintik hujan yang semakin deras. Ia menatap langit yang tampak muram. Gelap dengan angin yang menghempaskan dahan pohon ke kiri dan ke kanan.
Ia membenamkan wajahnya di lipatan lututnya. Dengan rasa lapar yang meliliti perutnya. Ia menarik napas panjang, berdoa agar udara yang memasuk ke paru-parunya juga masuk keperutnya untuk memberi efek kenyang.
Suara deru mobil yang memekik di depannya membuatnya menengadahkan kepalanya. Sebuah mobil sport berhenti di depannya. Membuat air genangan di pinggir jalan menciprat ke samping.
Seorang pemuda keluar. Berlari kecil lalu meneduh di atap yang sama dengan gadis itu. Ia merogoh ponselnya yang berbunyi.
"Iya, gue tunggu di jalan yang waktu itu mobil gue mogok." katanya lalu mematikan panggilan. Ia duduk di kursi yang ada di sana, tidak menyadari ada seorang gadis meringkuk kelaparan di belakangnya.
Ia menaruh ponsel di samping lalu mengeluarkan rokok dari saku celananya. Memantik api dari korek dan membuat ujung benda panjang itu terbakar.
Asap mengepul di sekelilingnya. Ia asik memainkan rokok hingga sebuah mobil berhenti di depannya.
"Nih." kata pria yang baru saja turun dari mobil dan menghampiri si perokok. Ia menyerahkan sebuah laptop yang langsung berpindah tangan. "Thanks ya. Gue males mau balik lagi." katanya sambil tersenyum. "Udah kan? Gue langsung balik ya." katanya. "Iya, gue ngabisin rokok dulu." katanya sambil melambaikan tangan ke sahabatnya yang sudah masuk ke dalam mobil.
Gadis lusuh itu memicingkan matanya. Melihat pria itu asik memainkan asap dari rokoknya. Setelah hampir habis, pria itu menjatuhkan rokoknya asal lalu menginjaknya dan beranjak dari bangku.
"Ponselmu." katanya lirih. Membuat pria itu berbalik dan menatap ponselnya yang masih ada di atas bangku. Ia melirik sekeliling, dia tidak mungkin salah dengar. Ia mendengar seseorang barusan.
Ia mengambil ponselnya dan sekali lagi melirik sekeliling hingga akhirnya matanya terpaku pada seseorang yang ada di pojok. Dengan rambut acak-acakan ia bisa melihat bahwa gadis itu meliriknya.
Kalau biasanya orang akan langsung pergi menjauh saat melihat sosoknya yang lusuh menyerupai orang gila, Irham justru memberanikan diri mendekat.
"Kau baik-baik saja?" Irham mendekat lalu Menyentuhkan punggung telapak tangannya pada si gadis yang tampak pucat dan acak-acakan. Suhu badan gadis itu panas dengan rintihan kesakitan dan terdengar mengiris hati.
"Aku lapar." Setelah susah payah, kata itu berhasil meluncur mulus dari mulut kecilnya. Irham menuju mobil dan kembali dengan sepotong roti dan air mineral.
"Ini." Roti dan air mineral itu berpindah tangan. Ia menatap si pria yang tersenyum lalu mengangguk. Dengan tangan gemetaran, ia membuka plastik pembungkus roti dan gagal. Tangannya terlalu lemah dan gemetaran karena menahan lapar.
Irham mengambil kembali roti itu dan membukakan pembungkusnya. Merobek roti menjadi potongan kecil dan menyuruh gadis itu membuka mulutnya. Gadis itu mengunyah dengan sangat pelan. Hingga akhirnya roti di tangan Irham habis. Ia memberikan botol minuman itu dan membiarkan gadis itu meneguknya pelan.
"Kamu, kenapa ada di sini? Di mana rumahmu?" Irham tidak sadar sudah menempelkan bokongnya ke lantai dan duduk menghadap gadis itu.
Gadis itu menggeleng lalu dengan lemah berujar "Terima kasih."
"Sama-sama. Kau tidak punya rumah?" Gadis itu menggeleng. "Keluarga?" Gadis itu sekali lagi menggeleng. Masih mendekap lututnya dengan erat.
***
"Mawar." katanya saat mereka sudah berada di rumah Irham. Irham sudah menyuruh gadis itu membersihkan diri dan kini gadis itu menanggalkan kaus dan celana lusuhnya dan menggantinya dengan kemeja Irham yang kebesaran dan celana kanvasnya.
"Kau, tidak punya keluarga?" Mawar menggeleng pelan. Irham yang risih melihat rambut mawar yang masih basah mengambil sisir di laci dan memberikannya pada Mawar. Gadis itu mengambil sisir dan menyisir rambutnya.
Irham memperhatikan wajah Mawar yang tampak bersih. Tidak terlihat lagi coreng-coreng hitam yang sebelumnya menghiasi wajahnya yang entah berasal dari mana.
"Kau sakit. Kita harus ke dokter." kata Irham. Mawar menggeleng pelan lalu matanya menyapu sekeliling. Memperhatikan rumah Irham baik-baik.
"Kalau begitu aku akan memanggil dokter." Irham meraih ponselnya dan menghubungi dokter.
"Terima kasih." kata Mawar sekali lagi.
***
Irham tengah mengantar dokter yang baru saja memeriksa Mawar sampai ke depan rumahnya . "Jangan lupa rutin minum obat dan vitaminnya. Juga obat penenang untuk depresinya." kata sang dokter. Sebelum kembali ke dalam ia pergi menuju apotik terdekat untuk menebus obat.
Mawar menggigil dan meringkuk di bawah selimut. Giginya memelutuk menahan badannya yang terasa sakit. Irham masuk dan membawakan semangkuk bubur dan obat yang baru saja ia beli.
"Makanlah, habis itu minum obat." Mangkuk itu di taruh di atas nakas sementara ia membantu Mawar untuk terduduk. Mawar masih menatap Irham yang tengah menutup tirai di kamar itu. Di luar hujan turun lagi. Seperti hari-hari kemarin. Cuaca sedang tidak bersahabat termasuk dengan Mawar minggu-minggu kemarin.
"Biar ku bantu." Irham melihat Mawar yang kesulitan mengambil mangkuk lalu membantu menyuapan sendok demi sendok ke mulut kecilnya.
"Kau berasal dari mana?" tanya Irham. Ia penasaran dan ia sendiri bingung apa yang membuatnya begitu kasihan pada Mawar sehingga memutuskan untuk membawanya ke rumah.
"Aceh." Jawabnya pelan dan Irham hanya menatapnya tidak percaya. "Aceh? Lalu, kenapa bisa ada di sini?"
Semua pikiran buruk berkelebat dalam otak Mawar. Menimbulkan nyeri yang membuat kepalanya sakit.
"Kau bisa bercerita nanti." Irham mengambil butir-butir obat lalu menyerahkannya pada Mawar. "Istirahatlah." Irham menarik selimut hingga lehernya.
***
Sudah dua hari ia tergeletak di ranjang itu. Pria itu kadang pergi pagi-pagi sekali dan kembali sore hari. Mereka jarang terlibat obrolan tapi pria itu percaya bahwa Mawar tidak akan berbuat yang aneh-aneh. Pria itu bahkan sering berpesan 'Aku akan mengunci pintu dan jangan bukakan siapapun yang mengetuk' saat ia pergi.
Mawar tidak tau ia berada pada orang yang salah atau benar.
Tapi saat Mawar keluar kamar dan melihat ke kamar pria itu yang tidak tertutup lalu melihat pria itu bersujud di atas sajadah, ia sadar bahwa ia berada dengan orang yang tepat.
Mawar masih berada di sana saat pria itu berada di akhir sholatnya lalu membaca doa sambil menengadahkan tangannya.
Air matanya menetes, merasa merindukan menghadap sang pencipta. Tapi apakah Tuhan masih ingin di temui olehnya.
"Hei, bagaimana keadaanmu?" Pria itu berbalik sambil melipat sajadahnya dan menghampiri Mawar yang berdiri di depan kamarnya.
***
Untuk pertama kalinya mereka duduk berdua di ruang makan. Menyelesaikan makan malam mereka dalam diam. Mawar mencuri pandang pada sosok tampan di depannya.
"Aku harap kamu cukup sehat untuk bercerita." Irham menengguk air di gelasnya hingga tandas.
Mawar terdiam lalu menarik napas panjang.
"Aku berasal dari Aceh." katanya membuka ceritanya. "Keluargaku meninggal dalam bencana tsunami 2004 yang lalu."
Irham menumpukkan kedua tangannya di atas meja memperhatikan gerak Mawar yang tampak gelisah.
"Satu tahun yang lalu aku dijanjikan pekerjaan di Jakarta." Irham bisa melihat air muka Mawar berubah getir. "Tapi aku malah masuk dalam jaringan perdagangan manusia."
Mawar tidak akan melupakan kejadian itu. Saat ia dan belasan gadis sebayanya di sekap dalam ruang pekat tanpa celah untuk melarikan diri selama berminggu- minggu. Ia diberi makan seadanya, bahkan sering mendapat perlakuan kasar saat mencoba melarikan diri. Mawar pernah merasakan dinginnya belati menggores lehernya saat ia mencoba melarikan diri.
Malam itu setelah mereka dibayang-bayangi ketakutan. Mimpi itu menjadi kenyataan. Ia dan yang lainnya di bawa ke bar untuk menemani pria hidung belang. Mereka secara paksa di bawa ke hotel oleh orang yang bersedia membeli tubuh mereka selama satu malam.
Mawar tidak tahu bagaimana nasib tamannya yang lain karena ia sendiri sudah terlalu takut memikirkan nasibnya. Ia di perkosa secara brutal oleh seorang pemuda berumur sekitar dua limaan karena tidak mau melayaninya dengan baik.
Pria itu tidak segan mencakar lengan Mawar saat Mawar berusaha menghindari sentuhannya dan yang paling menyakitkan adalah, pria itu meludahinya setelah berhasil mengambil keperawanan Mawar. Menyadarkanya bahwa ia benar-benar manusia tidak berguna.
Sejak saat itu kehidupan Mawar selalu dihantui mimpi buruk. Mereka kembali di sekap selama berminggu-minggu dan saat itu, saat ia mendengar bahwa mereka semua akan di bawa ke Jakarta lalu ke luar negeri. Mawar memutuskan untuk mengambil tindakan nekat. Ia kabur saat pria-pria berbadan besar yang selalu menjaga mereka kembali membawa mereka ke bar untuk kedua kalinya.
Saat turun dari mobil. Mawar ada dibarisan paling belakang dijaga oleh seorang pria berbadan tegap yang tampak sangar. Dan dengan keberanian penuh. Ia mencoba lari walau tangannya langsung dengan mudah di gapai oleh si pria. Mawar menggigit bahkan mencakar bagian mana saja yang bisa membuat tangan itu terlepas. Ia berlari melewati jalanan sepi. Terseok-seok menghindari si pengejar. Hingga akhirnya ia bisa lepas dan malah berakhir menjadi gelandangan.
Berbulan-bulan Mawar berjalan tanpa arah.  Ia sudah mencoba mencari pekerjaan tapi tidak ada orang yang cukup percaya melihat kondisi Mawar. Ia mengemis dan memakan apapun yang bisa ia makan. Kadang ia memakan makanan sisa yang bisa ia temukan di pinggir-pinggir jalan ataupun tempat sampah. Selama makanan itu belum basi, Mawar akan memakannya dengan lahap. Ia akan tidur di emperan toko yang tutup pada malam hari dan paginya, ia akan terbangun karena di tendang oleh si pemilik toko ataupun di siram dengan air satu ember. Tapi tidak selamanya buruk, karena terkadang, ada orang yang sekali dua kali pernah memberinya makanan. Makanan itu biasanya ia dapat dari penjual-penjual makanan pinggir jalan yang kasihan melihat Mawar.
Menahan lapar bukan hal aneh bagi Mawar. Terkadang ia hanya butuh minum agar membuat perutnya tak terus menerus berontak karena tidak di isi. Kalau tidak mendapat makanan sisa ia akan meringkuk di sudut kota. Berdoa agar ia bisa lekas tertidur untuk menahan laparnya hingga besok.
***
Suara dering ponsel memecah. Irham melihat nama Bunga di layarnya. Dan untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya. Ia secara sadar mematikan panggilan itu.
Mawar masih di depannya. Menangis menceritakan hidupnya yang juga membuat Irham meringis menahan nyeri.
"Kita bisa lapor polisi." kata Irham akhirnya. Mawar menggeleng cepat sambil menyeka air matanya. "Kenapa? Kita bisa membongkar jaringan itu. Mereka bisa dapet balasan yang setimpal." Mawar sekali lagi menggeleng.
"Aku tidak mau di penjara." kedua alis Irham bertaut. "Mereka yang akan di penjara Mawar. Bukan kamu."
"Kalau aku lapor polisi, aku juga akan di penjara karena aku berhasil lolos karena membunuh salah satu dari mereka."
Satu lagi mimpi buruk buat Mawar. Saat usaha melarikan dirinya terancam gagal ia terpaksa menusukkan pecahan botol yang berhasil ia simpan dari salah satu pertikaian di bar dan menusukkan ke perut di pengejar dan ia memastikan sendiri bahwa si pengejarnya sudah tidak bernapas. Mati dan ia yang membunuhnya.
Dia pelacur dan dia pembunuh. Sama sekali bukan gelar yang bagus untuk di sandang seorang remaja sepertinya.
Irham nyaris tidak percaya kalau ada kisah hidup semiris itu. Ia berpindah duduk di samping Mawar lalu mengusap pundaknya pelan.
"Kau sekarang aman bersamaku. Tenanglah."

Tuesday 29 March 2016

Dia Mawarku (Tiga jam untuk Mawar)

Bunga memeluk figur Irham dalam sebuah bingkai foto. "Udah kak, mas Irham udah tenang." Bunga menoleh dan menatap adik semata wayangnya.
"Kakak nggak nyangka kalau Irham akan pergi secepat ini. Kakak ngerasa belum jadi istri yang baik buat dia." Raka memeluk Bunga. Mas Irham yang belum jadi suami yang baik buat kakak. Katanya dalam hati.
"Allah lebih sayang sama mas Irham." kata Raka. Atau Allah lebih sayang sama kakak supaya kakak nggak terus menerus di bohongi mas Irham.
"Kakak cinta banget sama dia." Raka mengelus pundak Bunga pelan. Mencoba mengalirkan ketenangan melalui sentuhannya. Setelah Irham meninggal memang Raka memutuskan untuk menemani kakaknya agar tidak kesepian. Apa kakak masih bisa bilang cinta kalau tahu ada sosok mawar diantara kalian?
"Udah kakak nggak boleh sedih lagi. Harus ikhlas biar mas Irham juga tenang. Nanti mama mau ke sini. Raka berangat kuliah dulu ya." Sekali lagi Raka mengusap pelan punggung Bunga lalu menghilang dari pandangan.
Bunga kembali menatap figur Irham yang tengah tersenyum tulus. Bagaimana ia bisa tanpa Irham. Tiap sudut rumah selalu di penuhi jejak Irham. Bayang-bayang Irham berkelebat cepat memenuhi sela-sela ruangan di rumah itu.
Bunga tidak pernah tau bahwa Irham bisa benar-benar pergi darinya. Dan sekarang ia harus memulai semuanya dari awal. Tanpa Irham.
"Aku juga suka sama kamu. Nanti kalau udah besar kita nikah ya?" seru Bunga sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Irham tersenyum lalu mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya. Menandakan janji yang tidak boleh diingkari oleh keduanya.
Irham tergesa-gesa menghampiri Bunga yang tengah terduduk di taman. "Maaf ya aku telat." kata Irham sambil duduk di samping Bunga yang sudah mengerucutkan bibirnya. "Ini udah jam berapa Irham?" Bunga menunjuk jam tangannya. Membuat senyum Irham melebar. "Iya iya maaf. Tadi aku keasikan maen basket. Aku traktir es krim ya." katanya sambil mencubit pipi Bunga. Dia tau, kalau Bunga tidak akan bisa menolak kalau sudah menyangkut es krim. "Nggak. Kamu udah kebiasaan telat mulu." Bunga mencebik kesal, membuat Irham semakin gemas. "Kan aku udah minta maaf. Es krimnya dua deh." bujuknya lagi.
"Oke kalo begitu. Ayuk beli es krim." kata Bunga sambil menggandeng tangan Irham ke toko es langganan mereka.
"Ham tau nggak, tadi Mika nembak aku." kata Bunga dengan antusias. Irham yang sedang memakan es krimnya terhenti lalu menatap Bunga yang tampak cuek. "Terus? Kamu nggak terima kan?" tanya Irham.
"Nggak lah, aku kan udah punya kamu." jawabnya sambil tersenyum lebar. Tidak sadar bahwa tetesan es krim mengenai dasi biru tuanya.
Irham dan Bunga saling mencintai. Itu yang mereka tahu sehingga bertahun-tahun lamanya mereka menutup hati mereka dari laki-laki atau wanita lain. Bunga hanya fokus pada Irham. Tidak peduli bahwa di luar sana ada yang bisa mencintainya lebih dari Irham, begitupun sebaliknya.
Mereka terikat janji sewaktu kecil dan sejak saat itu, Bunga dan Irham hanya punya satu cita-cita. Menikah dan hidup bahagia.
Bukankah terdengar mudah dan indah. Persahabatan mereka berubah menjadi cinta yang semakin mengikat mereka. Betapa Bunga begitu optimis walau mereka tidak pernah menyandang kata 'pacaran'. Yang Irham tahu, ia harus menikahi Bunga dan yang Bunga tahu, ia akan di nikahi Irham.
***
Mawar meringkuk di sofanya. Kesehatannya menurun akhir-akhir ini sehingga ia masih memutuskan untuk istirahat alih-alih ke kampus untuk meneruskan hidupnya. Ia sering pusing dan mual karena kurang menjaga kesehatannya. Ia tidak makan dan tidur dengan teratur karena masih terus sibuk dengan bayang-bayang Irham.
"Kita nggak perlu mendapatkan sesuatu yang besar dulu untuk dapat bersyukur. Setiap pagi kamu harus sadar kalau napas yang masih di berikan Allah dan hal besar yang juga harus kamu syukuri setiap harinya. Jadi mulai sekarang, jangan terpaku dengan apa yang tidak kamu punya atau kelemahan kamu, kamu harus tau bahwa kamu bisa hidup adalah anugerah terbesar dari Tuhan. Jadi, jangan pernah sia-siakan untuk melulu terpuruk dalam kesedihan." Irham mengusap rambut Mawar sambil tersenyum.
Kepingan kejadian itu membuat Mawar sadar bahwa ia harus bangkit dan kembali melanjutkan hidupnya. Ia tahu kalau Irham akan kecewa melihatnya terus menerus terpuruk dalam kesedihan.
Bola matanya menyapu sekeliling ruangan. Ia menatap gambar Irham satu persatu. "Aku janji akan jadi orang hebat. Demi kamu. Makasih udah membiarkan aku merasakan hidup sampai saat ini." setetes air mata Mawar menitik.
***
Hari ini Raka membelokkan mobilnya ke kawasan apartemen Mawar karena tau sosok itu tidak akan dilihatnya di kampus.
Ia mengetuk pintu apartemen itu sampai sosok mawar berdiri di balik pintu. Raka menatapnya dari atas sampai bawah. Menyadari bahwa keadaan Mawar sudah lebih baik dari terakhir kali mereka bertemu.
"Kenapa lagi?" tanya Mawar, masih tidak memberi celah untuk Raka masuk ke apartemennya. "Kita perlu bicara?" kata Raka. "Bicara apa lagi?" Raka bisa mendengar nada putus asa dalam ucapan Mawar.
"Gue harus tau siapa lo dan sejak kapan lo kenal mas Irham."
Mawar menelan ludah dengan susah payah.
"Seperti yang lo tau. Gue simpanan, gue cuma simpanan Irham." sejujurnya Mawar malas kalau harus kembali bercerita mengenai pertemuannya dengan Irham. Terlalu panjang dan ia bahkan bingung harus memulai dari mana. Biarlah Raka berfikir kalau ia memang cuma simpanan.
Raka menggeleng pelan. "Jangan bohong, gue ada di samping mas Irham saat dia kecelakaan. Dia bilang lo bukan simpanan." Mawar terkejut mendengar pengakuan Raka. "Dia bilang apa aja?"
"Dia bilang lo istrinya." Mawar terhenyak. Untuk pertama kalinya Irham memberitahukan statusnya kepada orang lain. Rasa bahagia karena merasa diakui menyesap melalui sela-sela nadinya. Ia sadar bahwa kalau bisa, Irham mungkin akan bilang kalau kalau ia beruntung memiliki Mawar.
Mawar menarik napas panjang lalu pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh dan menyajikannya di depan Raka.
Raka terdiam lalu menatap cangkir itu tak acuh. Ia tidak butuh teh, ia hanya butuh Mawar menceritakan semuanya. Hingga ia tidak terus di hinggapi rasa penasaran dan rasa bersalah.
"Akan terlalu panjang kalau gue ceritain sama lo. Lebih baik gue jawab pertanyaan lo." Itu solusi yang di tawarkan Mawar agar ia tidak perlu lagi mengingat Irham yang semakin membuatnya sedih.
"Oke. Sejak kapan lo kenal mas Irham?"
"Tujuh tahun yang lalu, kurang lebih."
"Kapan kalian menikah?"
"Dua setengah tahun yang lalu." Raka merasakan kulitnya seperti terciprat minyak panas. Bagaimana mungkin, Bunga dan Irham bahkan baru menikah satu setengah tahun yang lalu. Jadi Mawar benar-benar istri pertama. Tapi baginya, Mawar tetap merebut Irham dari Bunga.
"Di mana lo ketemu sama mas Irham pertama kali?"
"Di Surabaya." Raka mengacak-acak rambutnya. Ini tidak akan berhasil, ia tidak mungkin menyatukan potongan-potongan jawaban Mawar menjadi satu cerita.
"Lo tau Irham udah punya Bunga? Mereka udah tunangan sebelum kalian nikah kan?"
Mawar mengangguk pelan dan hati Raka mencelos. "Lo emang pelacur, lo tau Irham udah punya Bunga, terus kenapa lo mau di nikahin Irham?"
Mawar terdiam. "Karena gue cinta sama dia." jawabnya akhirnya. Ia sudah terlanjur mencintai Irham. Sama seperti bagian tubuh yang sudah terlanjur diamputasi, bagian tubuh itu tidak akan bisa di kembalikan. Seperti perasannya pada Irham. Mawar tidak ingat sejak kapan, yang jelas rasa itu ada jauh sebelum Irham menyadari kalau ia juga mencintai Mawar.
"Lo sadar kalau cinta lo bikin Bunga sakit? Kalian sama-sama perempuan, apa lo nggak mikir gimana Bunga?"
Raka menajamkan tatapannya pada Mawar. Tapi gadis itu tampak lebih terkendali kali ini. Napasnya tampak teratur dan air mukanya tampak tenang.
"Yang sakit itu gue. Gue tau Bunga sedangkan Bunga nggak tau gue. Gue yang lebih harus memaklumi di sini."
"Gue istri pertamanya, tapi gue terima di jadikan yang kedua. Dalam satu hari, gue cuma punya waktu tiga jam sama Irham. Sedangkan Bunga, dia bisa merasakan setiap malam bergelung di pelukan Irham. Menyiapkan dia sarapan, berlaku sebagai seorang istri terbaik sedangkan gue? Gue cuma Mawar yang mungkin nggak lebih baik dari simpanan. Tapi gue sayang sama Irham, gue cinta sama dia. Gue nggak mau berharap banyak, cukup tiga jam sama dia."
"Bunga harus tau tentang lo." Mata Mawar membulat. Ia tersenyum sumbang. "Buat apa?"
"Jaga-jaga kalau Irham ninggalin warisan buat lo." Mawar tidak pernah peduli dengan harta yang Irham punya. Ia bahkan tidak berminat dengan aset-aset suaminya. Kalau boleh memilih, ia lebih baik miskin bersama Irham.
Raka hanya ingin Bunga tahu mengenai Mawar, jangan sampai nama itu di sebut dalam surat wasiat dan Bunga pingsan seketika. Perlahan, lama- kelamaan Bunga harus tahu. Meski ia akan mencaci-maki Mawar setelahnya. Meski ia harus sakit hati dan kecewa. Sekarang, Mawar harus menanggung kebencian dari Bunga. Raka akan pastikan itu.
"Pengacara akan bacakan surat wasiat itu sebulan lagi."
"Gue nggak butuh harta itu. Berikan saja semua sama Bunga." Ia bahkan rela meninggalkan apartemen ini kalau Raka menginginkannya. Ia hanya punya satu permintaan. Izinkan ia membawa semua figur Irham yang tercetak di sana. Foto-fotonya, bahkan post it-post it pesan cinta Irham pada Mawar.
"Oke terserah. Yang jelas, lo harus cerita dari awal lo ketemu sama mas Irham." kata Raka dengan nada keras. Membuat Mawar berpikir sejenak dari mana ia harus memulai ceritanya.
***
Irham merasakan sakit di sekujur tubuhnya. "Bunga harus tahu tentang Mawar." katanya dengan susah payah. Raka yang sedang sibuk menghalau air matanya terpaksa kembali fokus pada Irham yang tergolek lemah sementara ambulance itu melesak semakin cepat membelah kemacetan. Raka menggeleng, mana mungkin ia tega menghancurkan hati kakaknya dengan memberitahukan sosok Mawar.
"Aku meninggalkan beberapa warisan untuknya." Raka memberanikan diri mengusap pipi Irham yang sudah di penuhi oleh darah segar.
"Sampaikan maafku pada Bunga dan Mawar. Katakan aku mencintainya." Irham kembali memejamkan matanya. Raka tidak tahu siapa yang di maksud di cintai Irham. Bunga atau Mawar?